Praktikum Lapangan Metode Non-Seismik, Pacitan 2013

Workshop Metode Gravitasi, Geomagnetik, AMT, VLF, Geolistrik dan Induced Polarization.

Kuliah Lapangan Geologi Bayat, Maret 2012

Pemetaan Geologi daerah Bayat dan sekitarnya, Geofisika-Geologi UGM.

Workshop Fisika Gunungapi, Kamojang 2014

Akuisisi Data Gravitasi dengan Gravimeter LaCoste-Romberg.

HMGF UGM 2013

Pengurus Himpunan Mahasiswa Geofisika, Universitas Gadjah Mada Periode 2013.

Pos Angkatan 2010, The Royal Blue

Orientasi Pengenalan Medan Geofisika 2013, Kowe Kudu Semangat.

Jumat, 11 Desember 2015

Interpretasi Well Log [Bagian 7 - selesai] - Log Sonic


Pernah main game SEGA ?? Pasti kenal dengan karakter diatas...
Berlari secepat gelombang suara.
That's why it called Sonic The Hedgehog :D

Well :D
Saya akan melanjutkan cerita tentang bagaimana menginterpretasikan data log, khususnya wireline log. Nah, kali ini saya akan bercerita tentang Log Sonic, juga sering disebut dengan Log Akustik.

Mengapa disebut Log akustik ?
Oke, sebelum kita berbicara lebih banyak tentang Log Sonic, mari kita kenali dulu Apa itu gelombang akustik. Gelombang akustik adalah sebuah getaran yang merambat yang bersumber dari getaran mekanik dan merambat pada sebuah medium. 
Log Sonic memakai prinsip kerja gelombang akustik, yaitu dengan memancarkan pulsa mekanik dengan jangkauan 10-40kHz dengan panjang gelombang 7,5 sampai 75 centimeter dalam jangkauan kecepatan 1500 sampai 7500 meter per sekon. Itulah mengapa Sonic The Hedgeog dinamai dengan "Sonic" (???)

Bagaimana alat log Sonic bekerja ?
Sistem pemancar gelombang sonic dari alat log sonic ini merupakan sebuah komponen magnetostriktif atau yang lebih sering digunakan adalah piezoelektrik. Dimana saat pulsa listrik dialirkan akan dikonversi oleh unit pemancar menjadi sebuah getaran ultrasonik. Dengan demikian gelombang akustik akan ditransmisikan kepada dinding lubang bor (dengan kecepatan rambat pada medium yang beragam, oleh karena itu akan ada perbedaan dalam penetrasi pada berbagai medium -dalam hal ini adalah batuan). Sementara itu, sistem penerima (receiver) adalah sebuah perangkat piezoelektrik yang dapat mengkonversi gelombang pressure menjadi signal EM dan kemudian di amplifikasi untuk memperjelas sinyal loging. (Buku Pak Rider, 2002)
ilustrasi sederhana alat log sonic, diambil dari buku "Well Logging for Earth Scientist"
(Ellis & Singer, 2007)
Lantas apa kegunaan log sonic itu ? 
Nah, dengan mentransmisikan gelombang akustik dan kemudian menangkapnya kembali, para teknisi logging dapat menghitung jeda waktu antara signal dipancarkan dengan sinyal ditangkap, dimana nanti akan lebih banyak disebut dengan istilah DELTA T. Dengan mengetahui Delta T, maka teknisi loging dapat menghitung kecepatan rambat gelombang akustik pada medium tersebut. 
Dengan persamaan pada gambar diatas, setiap feet/meter dari dinding lubang bor yang dilewati oleh alat loging akan dihitung Delta T nya dimana satu per Delta T adalah Kecepatan rambat gelombang akustik pada medium tersebut.
Setelah dapat kecepatan ranbat bla bla bla, lalu digunakan untuk apa?
Nah, setelah proses loging selesai, dan hasil perhitungan kecepatan rambat gelombang akustik didapat, maka kita dapat melakukan estimasi porositas berdasarkan beberapa konsep yang telah dikembangkan. Salah satunya adalah Konsep yang dikembangkan oleh Pak Wyllie dan kawan-kawannya pada tahun 1956. Pak Wyllie mengembangkan suatu konsep bahwa keberadaa pori akan mempengaruhi variasi kecepatan rambat gelombang akustik pada medium tersebut, terlebih lagi jika terdapat fluida yang mengisinya. Konsep ini kemudian diturunkan dalam persamaan matematis seperti ini : 
Persamaan yang menggambarkan hubungan antara kecepatan, jeda waktu (delta T) dengan porositas
(Buku Pak Rider, 2002)
 Dari persamaan Pak Wyllie tadi kita dapat mengestimasi nilai porositas tentu saja dengan mendapatkan parameter-parameter yang berkaitan dengannya, seperti Delta T pada matriks dan fluida tertentu. Untuk penentuan nilainya, metode yang diterapkan pada pembahasan sebelumnya (Log Densitas dan Log Neutron bagian kedua) dapat diterapkan pada Log Sonic. 
Nah, dari cerita diatas kita dapat membayangkan bagaimana log sonic bekerja dalam lingkungan lubang bor hingga kemudian dihitung menjadi nilai porositas. Namun perlu diingat, bahwa semua perhitungan atau apapun yang sifatnya kuantitas dalam menghitung nilai parameter petrofisika sejatinya adalah sebuah estimasi. Terdapat perambatan error juga, apabila parameter yang digunakan untuk proses perhitungannya terdapat kesalahan, maka tentusaja hasil yang didapat juga perlu ditinjau ulang. Dan selalu, untuk para petropisisis atau geosaintis yang berkutat dan tertarik pada bidang ini, perlu ditanamkan bahwa data yang terbaik dalam lingkup penelitian eksplorasi dan produksi Migas tentunya adalah data core dari sumur yang sudah berproduksi :D

Selamat belajar :D
Semoga bermanfaat :D

Kamis, 10 Desember 2015

Interpretasi Well Log [Bagian 6] - Log Densitas dan Log Neutron [Bagian 2 - selesai]

Melanjutkan tulisan sebelumnya tentang interpretasi log densitas dan log neutron. Sekedar mengingatkan, mengapa saya menggabungkan kedua log ini dalam satu tulisan. Pertama, karena prinsip kerja alat log ini dalam akuisisi menggunakan komponen yang sama, yaitu radioaktif. Yang kedua, karena umumnya kegunaan log ini adalah saling melengkapi dalam estimasi nilai porositas suatu reservoir migas :D

Mari kita lanjutkan.
Nah, pada tulisan sebelumnya saya banyak membahas mengenai konsep dasar, prinsip kerja alat dan sedikit tentang interpretasi kasar dan kualitatif, pada bagian kedua ini saya akan menambahkan sedikit tentang interpretasi, namun lebih ke arah kuantitatif. 
:D

So, brace yourself for the Equations !!!

Baiklah, untuk permulaan mari kita ingat-ingat lagi rumus dasar porositas. Eh sebentar, apa itu porositas ?
Porositas adalah bagian dari volume batuan yang tidak terisi oleh benda padat.
(Adi Harsono, 1997)
Nah, sederhananya porositas itu dapat diperoleh dari selisih antara volum total (bulk - Vb) terhadap volum butir (grain - Vgr -benda padat), karena biasanya orang orang perminyakan lebih suka menilai porositas sebagai prosentase jadi kita bisa menyimpulkan bahwa porositas adalah rasio antara volume pori terhadap volume total, yang mana volume pori (Vp) tersebut adalah selisih yg kita bahas sebelumnya. apabila kita bawa ke ranah matematis, maka porositas dapat dijabarkan dalam persamaan berikut : 

Pasti sering liat persamaan ini kan ?
(diambil dari buku Petrophysics Tiab dan Donaldson, 2004)
Kemudian banyak sekali limuwan yang terinspirasi dari persamaan dasar tersebut dan mengembangkan persamaan-persamaan baru dari hasil eksperimen mereka, salah satunya adalah dengan memanfaatkan data log densitas dan log neutron ini. Nah, dari sekian banyak rumus untuk menghitung porositas, mari kita coba bahas sedikit tentang rumus Porositas mulai dari log densitas, log neutron sampai kombinasi log densitas dan log neutron.

1. Porositas dari Log densitas 

Untuk memahami kuantifikasi porositas dari nilai densitas, terlebih dahulu kita harus memahami definisi porositas, sebagaimana dijelaskan pada cuplikan buku Pak Rider dibawah ini :
Rider, 2002
Nah, kita dapat simpulkan bahwa untuk mendapatkan nilai porositas, perlu diketahui densitas matriks (single matrix, double matrix atauh bahkan multiple matrix) dan kemudian densitas fluida. Dengan demikian kita dapat mengaplikasikan persamaan dari buku Pak Rider diatas untuk mengestimasi nilai densitas batuan reservoir yang akan kita teliti.  
Densitas Matrix itu apa sih? 
Keanu Reeves itu bukan ?
Bukan... itu The Matrix (pfffft... jayus pol), densitas matrix itu adalah densitas dari grain/butiran butiran sedimen yang terdapat pada batuan reservoir tersebut. 
Terus bagaimana cara dapet nilai Densitas Matriks itu ?
Nah, ini yang agak tricky... kita harus paham dulu petrologi dan mineralogi (tsaaaah... )
Untuk menentukan nilai matriks kita bisa menggunakan pendekatan petrologi, dalam hal ini kita harus punya sampel batuan tersebut dan kemudian melakukan analisis petrografi agar kita dapat melihat mineral apa saja yang mengisi batuan tersebut. Dengan mengetahui jenis-jenis dan prosentase dari mineral-mineral tadi, kita dapat mengestimasi nilai densitas rerata dari berbagai macam mineral tersebut secara proporsional. 
 Ada juga cara lain, yaitu menggunakan metode Crossplot . Metode crossplot ini lebih praktis dalam analisisnya, namun banyak terdapat bias dan membutuhkan insting dan pemahaman yang kuat. Metode crossplot adalah pengambilan nilai dari suatu parameter berdasarkan dua atau lebih parameter yang berhubungan dan saling disilangkan.
Misalnya : Untuk menentukan tingkat kematangan buah mangga yg baik, kita harus mencocokkan antara ukuran buah, warna kulit, kekerasan buah, dan aroma yg tercium. Nah, jika semua mencapai kriteria maka dapat disimpulkan buah tersebut matang dengan baik. Vice versa.
Jika kita ambil contoh praktek dari metode crossplot dalam penentuan densitas matrix atau fluida, maka parameter yg digunakan bisa saja : Log Sinar Gamma (GR), Log Kaliper, dan Log Densitas itu sendiri. 
Gambar 3 : contoh crossplot antara log GR, Densitas dan Caliper
 Jika teman-teman perhatikan gambar diatas (3A), kita dapat menentukan nilai dari suatu parameter (dalam hal ini densitas matriks) dengan terlebih dahulu menentukan kriteria dari masing-masing parameter yg digunakan sebagai acuan. Dalam hal ini kita mengambil contoh : Kita akan menentukan matriks batupasir kuarsa, kriteria acuannya yaitu Log GR harus lebih kecil dari 25 GAPI (panah biru -misalnya), kemudian Log densitasnya berada di kisaran nilai 2,45 - 2,65 gr/cc (panah hijau -misalnya) dengan kaliper yang baik (tidak washout dsb, lebih baik jika terlihat mudcrack). Nah, jika semua parameter tersebut terpenuhi maka, nilai yg didapat pada crossplot bisa dianggap nilai yg sesuai (panah merah). 
Beberapa sampel nilai parameter ke-densitas-an dari beberapa mineral yg umum
(Crain Petrophysical Online Book)

 2. Porositas dari Log Densitas dan Log Neutron

Dalam beberapa kesempatan saya membaca beberapa literatur dan tulisan ilmiah yang menggunakan metode kombinasi log densitas-neutron untuk mengestimasi nilai porositas. Hal ini dikarenakan adanya kesalahan relatif dalam penentuan porositas dari log densitas, alhasil sebagian ilmuwan percaya bahwa dengan mengkombinasikan kedua log ini, dapat diperoleh estimasi yang lebih baik. 
Misalnya : 
sumber : Handbook kuliah GMB (2013)
Namun selain persamaan diatas, masih banyak metode kombinasi log densitas dan log neutron, seperti yang dikembangkan oleh Bateman dan Konen tahun 1977.

begitulah secara singkat cerita tentang interpretasi kualitatif dari Log Densitas dan Log Neutron.
Selamat belajar :D




Metode Gravitasi (Gravity Method) - Perbedaan Fungsi dalam Geofisika dan Geodesi

Well, maafkan jika terlalu lama vakum menulis blog lagi. Saya mau sedikit cerita (curcol) tentang pengalaman saya dalam beberapa waktu terakhir. Mungkin sudah banyak yang tau jika background pendidikan saya adalah Geofisika, yap. saya adalah seorang geofisisis (yang sebetulnya tidak terlalu mahir dalam urusan K-A-L-K-U-L-U-S (if you know what i mean).
Saya lebih suka disebut Geosaintis/Earth Saintis, karena sudah jelas dalam mempelajari ilmu kebumian kita tidak bisa berpaku pada satu disiplin saja, Geofisika saja, Geologi saja atau Geodesi saja. Mereka bertiga saling bekerja bersama dan berkaitan satu sama lain.

Nah, selama saya menempuh pendidikan S1 saya seringkali 'bergaul' hanya dengan Geologis (kebanyakan) karena selama ini saya banyak fokus dalam bidang eksplorasi, padahal sudah jelas jika lingkup studi Geofisika itu sangat luas, mulai dari studi gunungapi hingga studi referensi dalam bidang geodetik.

Gambar 1 : Model Geoid Lokal DIY (Triarahmadhana dkk, 2014)

Dalam tulisan kali ini saya akan sedikit bercerita perbedaan fungsi dari metode Gravitasi/Gayaberat yang berkaitan dengan kegunaannya untuk dua bidang yang berbeda, yaitu Geofisika dan Geodesi. 

Kita ketahui bersama, jika metode gravitasi atau Gayaberat adalah salah satu metode geofisika yang banyak digunakan dalam bidang eksplorasi maupun bidang kegeofisikaan lainnya. Selama ini yang saya pelajari adalah penggunaan metode tersebut untuk kegiatan eksplorasi panasbumi, mineral, migas hingga monitorin status kegunungapian dan panasbumi. Dalam beberapa kesempatan, metode Gravitasi juga seringkali digunakan dalam studi tektonisme dan geologi struktur. Namun, beberapa waktu terakhir ini saya baru mengetahui jika penggunaan metode Gravitasi tidak hanya terbatas dalam bidang-bidang diatas, namun juga digunakan dalam penentuan ketinggian geoid. 

Dalam ilmu kebumian kita mengenal sistem referensi bumi seperti MSL, Geoid dan Elipsoid. Secara sederhana sistem referensi tersebut sangat berbeda. misalnya : 
MSL (Mean sea level) adalah sistem referensi yang banyak dipakai dalam penentuan ketinggian gunungapi. contohnya : Ketinggian Gunung Merapi adalah 2968 MDPL -meter diatas permukaan laut- ,dalam hal ini sudah pasti adalah ketinggian diatas muka air laut rata-rata. Padahal sudah kita ketahui bahwa muka air laut adalah suatu sistem yang sangat dinamis, walaupun perubahannya bekerja secara harmonik. Sistem ini dapat dimodelkan diseluruh permukaan bumi dengan bersumber dari data pengamatan/pengukuran nilai pasut (pasang surut/tidal -sama saja) yang diolah dengan beberapa metode dan kemudian dimodelkan secara matematis.

Sistem referensi lain yang kita ketahui adalah Elipsoid (Elipsoid -sama saja). Elipsoid adalah suatu bidang referensi, nilai nol meter yang berada pada sistem 'ke-elips-an' bumi, dalam arti bumi dalam bentuk elips sempurna atau "Normal Earth" (hal ini disebutkan dalam paper Li dan Gotze, 2001)
Sistem referensi elipsoid dapat dihitung dan dimodelkan secara matematis diseluruh permukaan bumi dengan menggunakan studi empirik. Misalnya menggunakan pendekatan GRS80 atau WGS84 yang seringkali digunakan dalam sistem GPS Handheld (yang mana rumusnya sangat panjang)

Gambar 2 : Ilustrasti beberapa sistem referensi bumi (Li dan Gotze, 2001)

Sistem referensi satu lagi adalah Geoid. Geoid dalam beberapa tulisan dideskripsikan sebagai suatu bidang ekipotensial yang diasumsikan berimpit dengan muka laut rerata yang tidak terganggu dan merepresentasikan bentuk bumi yang sesungguhnya (Heiskanen dan Moritz, 1967). Maksudnya adalah 'garis' geoid ini adalah kontinyu dan merupakan bidang yang statis namun juga tidak selalu berkaitan dengan keadaaan di permukaan bumi. Misalnya : Geoid di pegunungan tidak selalu lebih tinggi dibandingkan geoid di dataran rendah, begitupun sebaliknya. Oleh karena itu saat ini banyak yang melakukan studi tentang geoid sebagai sistem referensi yang 'valid' karena dianggap lebih mewakili bentuk bumi yang sesungguhnya (terlepas dari apa yang terlihat di permukaan). 

Perbedaan ketinggian antara Geoid dan Elipsoid ini dikenal sebagai Undulasi. Sehingga, untuk mengetahui ketinggian Geoid kita perlu mengetahui besarnya undulasi tersebut. Nah, salah satu caranya adalah dengan menggunakan metode Gravimetri (Pada tulisan ini saya tidak akan membahas Metode Gravimetri lebih jauh ya :D). disinilah metode gravitasi bekerja dalam bidang Geodesi. Lain halnya Metode Gravitasi dalam bidang Geofisika, anomali yang digunakan dari pengukuran Gravitasi nya pun berbeda, dibidang eksplorasi maupun monitoring kita gunakan anomali Bouguer, sedangkan untuk studi geoid ini, kita hanya cukup sampai mendapatkan nilai anomali Free-Air. Mengapa Demikian ???

Begini ceritanya...
Secara sederhana Anomali Bouguer adalah suatu anomali yang berada dibawah permukaan bumi dari hasil selisih antara nilai Gravitasi Terukur di Permukaan (Gravitasi observasi/ G-obs) terhadap nilai gravitasi secara teoritis. Gravitasi observasi adalah nilai gravitasi yang didapat dari pengukuran dengan menggunakan Gravimeter yang diukur diatas permukaan bumi, di topografi. Sedangkan Gravitasi teoritis adalah nilai gravitasi dari hasil perhitungan matematis geopotensial dengan menjumlahkan Nilai gravitasi normal (diukur dari elipsoid) dan kemudian gravitasi free air. Dalam hal ini Pak Bouguer mencetuskan sebuah teorema mengenai sebuah besaran densitas yang sangat mempengaruhi nilai gravitasi, yang kemudia dibuat dalam bentuk model Slab tak terhingga dengan densitas yang tetap. Pemodelan gravitasi teoritis akan lebih kompleks lagi dibahas dalam bidang geofisika, lengkap dengan segala macam koreksi koreksinya. Nah, berhubung dalam bidang Geofisika Eksplorasi ini berkaitan dengan benda anomali (yang disinyalir adalah sumber anomai gravitasi) maka diperlukan semua koreksi-koreksi (reduksi nilai) tersebut untuk mendapatkan harga anomali gravitasi yang lebih teliti. 

Persamaan reduksi free air gravity (Telford, 1990)

Persamaan gravitasi Bouguer Sederhana (Dermawan, 2010)

Lain halnya dalam bidang geodesi, Setelah pengukuran gravitasi dilakukan, maka koreksi yang perlu dilakukan (tentunya setelah melakukan koreksi terhadap gravitasi pasut dan drift alat) adalah koreksi terhadap gravitasi normal saja. Mengapa begitu ?
Karena dalam kajian ini tentunya yang kita cari bukanlah penyebab anomali, melainkan ketinggian undulasi yang mana akan berkaitan dengan nilai anomali gravitasi Free-Air yang terukur di permukaan. Nilai Gravitasi Free-Air sendiri secara sederhana adalah suatu nilai gravitasi yang secara teoritik dapat dihitung pada suatu titik diatas permukaan bumi (di topografi) tanpa memperhitungkan densitas yang ada dibawahnya, dengan kata lain, nilai gravitasinya hanya berdasarkan radius dari pusat bumi saja. 

Gimana? Sudah bingung? :D

Jika disimpulkan secara singkat, Pengunaan Metode Gravitasi dalam bidang Geofisika memiliki perbedaan dengan Geodesi jika dilihat dari segi pengolahan data dan penentuan nilai anomali yang diinginkan. Namun, dalam akuisisi data keduanya dilakukan dalam metode yang sama :D

Begitu :D
Sekian dulu ya, nanti kapan-kapan mungkin saya akan bahas tentang ini lagi :D
Terima kasih.



Tulisan yang saya baca :

Dermawan, Airlangga, 2010, REKONSEPTUALISASI DAN PEMROGRAMAN REDUKSI DATA GRAVITASI SERTA PEMETAAN KE KOORDINAT TERATUR (GRIDDING) MENGGUNAKAN BAHASA PEMROGRAMAN VISUAL BASIC, Skripsi, Geofisika UGM

Li dan Gotze, 2001, Tutorial : Ellipsoid, geoid, gravity, geodesy, and geophysics,GEOPHYSICS, VOL. 66, NO. 6 (NOVEMBER-DECEMBER 2001); P. 1660–1668, 4 FIGS., 3 TABLES.

Triarahmadhana, B., dkk, 2014, Pemodelan Geoid Lokal D.I. Yogyakarta menggunakan Metode
Fast Fourier Transformation dan Least Square Collocation,Conference on Geospatial Information Science and Engineering "Menuju Pengelolaan Informasi Secara Spasial", Yogyakarta, 20 September 2014.

Buku Magis Pak Telford :D

Sabtu, 25 Oktober 2014

Interpretasi Well Log [Bagian 6] - Log Densitas & Log Neutron [Bagian 1]


Setelah sekian lama nggak nulis di blog ini, saya mau melanjutkan cerita saya tentang bagaimana dasar-dasar seorang geosaintist melihat dan menerjemahkan data log (wireline log). 
Sebelumnya saya sudah bercerita sampai ke Log Tahanan jenis atau Log Resistivitas. nah, pada tulisan ini saya akan sedikit bercerita tentang dasar-dasar log densitas dan log Neutron. 



Pasti teman-teman pembaca sekalian bertanya-tanya (????) kenapa pembahasan log densitas dan log neutron saya jadikan satu tulisan (?), (Kenapa hayoooooo)
oke, kita simak aja tulisan dibawah ini yaa :)



Pernah liat kan CROSS-OVER seperti ini ???

Apa sih log densitas itu ?
teman-teman pasti pernah mendengar kata densitas. ya, mirip dengan massa jenis. Densitas adalah suatu besaran yang mendeskripsikan seberapa padat suatu material (dalam bahasan ini jelas BATUAN yang dimaksud). 1 meter kubik batubara, massa nya akan lebih ringan dibanding 1 meter kubik batu granit. tentu saja karena adanya perbedaan densitas. 
Nah, Log densitas jadi apa?
Pada prinsipnya log densitas bertujuan mengetahui variasi perubahan densitas batuan yang ada di sepanjang lubang bor. Namun, pengukuran densitas yang dilakukan bersifat tidak langsung, melainkan nilai densitas yang didapat merupakan hasil perhitungan dan transformasi dari besaran yang didapat sebelumnya. Jadi, nilainya bukan densitas mutlak. 

Bagaimana ceritanya kok bisa disebut 'bukan densitas mutlak' ?
Jadi begini, akuisisi log densitas dilakukan dengan prinsip absorpsi (penyerapan) energi dari partikel foton yang berhamburan dari material radioaktif (sebagai source/transmitter sinar gamma). Siapa yang menyerap? Pada saat foton berhamburan dari transmitter, partikelnya akan diserap oleh elektron-elektron yang ada di formasi/batuan. Elektron-elektron tersebut berasal dari kandungan kimia mineral-mineral penyusun batuan/formasi tersebut. 
 Lantas apa hubungannya tumbukan partikel foton dengan elektron terhadap densitas yang terbaca?
Nah, komponen pendeteksi dari alat log densitas akan membaca berapa banyak foton setelah waktu penyerapan (selama perjalanan dari transmitter). Jumlah foton yang terbaca inilah yang akan ditransformasikan sebagai ekuivalensi densitas dari batuan yang dideteksi. semakin banyak foton yang kembali ke detektor, artinya formasi tidak mampu 'menghancurkan' si foton tersebut, jadi dengan kata lain : semakin sedikit foton yang dibaca di detektor menunjukkan semakin padatnya (dense) si batuan tersebut.
jadi, yang dibaca sebenarnya bukan densitas batuan melainkan densitas elektron yg ada di batuan tersebut.
lalu bagaimana hubungan antara densitas elektron di batuan dengan densitas bulk batuan yang selama ini kita kenal sebagai produk dari akuisisi log densitas?

(sumber : materi course Well Log analysis oleh Mas Ari, GF UGM 2007)

Sebagaimana yang ada digambar diatas, densitas elektron akan sebanding dengan densitas bulk dikalikan dengan dua kali nomor atom dibagi massa atom. Pada sebagian kasus akan ditemui bahwa faktor pengalinya akan bernilai sama dengan 1. So, densitas elektron akan mendekati densitas bulknya. Tapi ini bukan suatu generalisasi yaaaa :D 
kalo kalian masih penasaran tentang penjelasan rumus di gambar diatas, teman-teman bisa melihat di buku "Well Logging for Earth Scientist" (Darwin & Ellis), ada di bab 12 halaman 290. 

 Terus, Log Neutron itu apa? Sama nggak sama Jimmy Neutron ? atau tempat bimbel ?
(agak jayus yah... krik krik..)

Log neutron atau biasa kita kenal dalam dunia petrofisika dan evaluasi formasi sebagai log NPHI (dibaca : en - phay) atau Neutron Porosity Log.
Wah hebat dong kita bisa langsung tahu besarnya porositas dari batuan disepanjang lubang bor?
Nanti dulu... sebelumnya kita harus tau, darimana asalnya nilai porositas yang didapat si alat Log neutron tersebut.
Jadi, begini ceritanya...
Sama hal nya dengan log densitas, log neutron juga tidak membaca nilai porositas mutlak dari suatu batuan, melainkan banyaknya jumlah hidrogen semu yang ada di formasi. Nah, hidrogen ini kan salahsatu unsur yang paling banyak ditemui dalam molekul fluida (air, gas maupun minyak), jadi sudah jelas bahwa ketiga jenis fluida tersebut akan menempati pori-pori batuan yang porous. 
 Bagaimana bisa neutron mengetahui jumlah hidrogen di satu batuan?
Nah, akusisi log neutron ini menggunakan prinsip tumbukan antara partikel neutron dengan atom Hidrogen. Setiap energi yang dimiliki oleh partikel neutron yang ditransmisikan ke formasi/batuan akan diserap saat neutron bertabrakan dengan atom Hidrogen. Sehingga semakin besar energi yang dibaca detektor neutron di alat akan menunjukkan bahwa kandungan hidrogen pada batuan tersebut semakin sedikit. Jadi jumlah energi/neutron yang terbaca di detektor akan berbanding tebalik dengan jumlah atom hidrogen di batuan/formasi dan jumlah hidrogen tersebut akan sebanding dengan besar ruang pori (yang mungkin) ditempati oleh si hidrogen tersebut. 
  
Alat logging untuk Log Neutron (dari buku yang sama)
Dalam bidang studi Analisis data log dan evaluasi formasi penggunaan kedua log diatas akan saling dikombinasikan untuk mendapatkan nilai estimasi porositas yang sebenarnya. Karena keduanya masih sama-sama memilki kekurangan dalam menurunkan nilai porositas, maka terkadang dalam kondisi tertentu, juga dikombinasikan dengan log sonic / DT log.

Oke, biar nggak bingung dan tetap penasaran dengan hal-hal berbau logging, ceritanya sampai disini dulu. nanti akan dilanjut dibagian kedua :D