Senin, 11 Mei 2009

Sampah masih menjadi masalah di Ibu Kota


Masalah sampah tetap menjadi masalah besar di Kota Jakarta dan kota satelitnya, Bogor, Depok, Tangerang, serta Bekasi. Jika diilustrasikan dengan penyakit, persoalan ini sudah mencapai tingkat akut yang mendesak untuk diselesaikan.Bagai gula dengan rasanya yang manis, Jakarta terus dikerubuti semut. Pertumubuhan penduduk di kota ini semakin sulit terbendung. Berbagai konsekuensi membuntuti pertumbuhan penduduk yang memadati Ibu Kota. Salah satunya sampah.

Konsumsi produk kebutuhan sehari-hari mau tidak mau menghasilkan sisa-sisa produk, yaitu sampah. Bukan hanya sampah alam dan sampah rumah tangga, sampah sejenis sampah rumah tangga dan sampah spesifik juga tidak tertangani dengan baik. Kapasitas sampah rumah tangga yang dihasilkan semakin meningkat, baik jumlah maupun ragamnya.Tragisnya, pengelolaan sampah selama ini belum sesuai dengan metode dan teknik pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan. Mau tidak mau, hal ini menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan.

Kepastian hukum pengelolaan sampah seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah tidak mampu menjamin kota ini bebas dari polemik. Meski secara autentik sudah ada kejelasan tanggung jawab dan kewenangan pemerintah dan peran masyarakat, pengelolaan sampah tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien.

Beberapa warga bahkan dibebani dengan iuran sampah yang harus dibayarkannya setiap bulan. Sebagian rumah tangga Jakarta setiap bulan wajib membayar dana kebersihan dengan besaran yang beragam, mulai dari Rp 1.000, bahkan ada yang mencapai puluhan ribu rupiah kepada pengurus RT atau RW. Hal itu harus dipatuhi demi menjamin sampah rumah tangga warga terangkut dan tidak mengganggu kebersihan serta kesehatan anggota keluarga. Namun, (lagi-lagi) hal itu tidak juga menjamin sampah terangkut setiap hari. Seperti yang terjadi pada keluarga Ibu Hasanudin (58). Warga RT 09/04 Kelurahan Menteng Atas, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan, ini mengaku menyetor iuran warga kepada pengurus RT sebesar RP 10.000 setiap bulan. Meski ibu empat anak ini tidak pernah alpa menjalankan kewajibannya setiap awal bulan, ia kerap kehilangan haknya atas pengankutan sampah rumah tangganya.
Saat iuran Rp 10.000 ditetapkan oleh kesepakatan warga dan pengurus RT, ia dijanjikan sampah produk rumah tangganya akan diangkut setiap hari. Namun kenyataannya, beberapa kali sampah itu tidak digotong oleh petugas kebersihan yang ditunjuk pengurus RT hingga tiga hari lamanya. Kalau sudah begitu, tidak ada yang dapat dilakukannya selain menunggu.

Hal senada juga dialami Ibu Ani (59) warga RT 05/06 Kelurahan Kebon Pala, Kecamatan Kampung Makasar, Jakarta Timur. Pensiunan bidan ini mengatakan membayar iuran sampah Rp 10.000 setiap bulan. Berbeda halnya dengan Ibu Hasanudin yang membayar sampah ke pengurus RT, Ibu Ani dan tetangga-tetangganya membayarkan jumlah itu langsung kepada petugas pembawa sampah setiap awal bulan. Tujuannya adalah untuk memotong birokrasi dan agar dana yang dibayar warga tidak dipotong oleh pengurus RT. Petugas pengangkut sampat itu ditunjuk langsung oleh Ketua RT. Ibu Ani mengatakan, seharusnya sampah rumah tangganya dibawa ke tempat pembuangan sampah sementara setiap hari. Namun ia menyesalkan, setiap kali warga membayarnya di awal bulan, petugas pengangkut sampah itu malah lalai menjalankan tugasnya.

Lain lagi dengan Dita (24), warga RT 10/09 Kelurahan Malaka Sari, Kecamatan Duren Sawit. Ia mengatakan, ada iuran Rp 20.000 yang harus dibayar setiap rumah tangga kepada pengurus RT. “Kayaknya yang sebagian untuk jasa angkut sampah dari rumah ke tempat penampungan sampah, sisanya untuk biaya depo sampah. Tapi tepatnya pembagiannya bagaimana, saya tidak tahu,” jelasnya.

Gadis berambut sebahu ini mengatakan, sampah dari rumahnya, menurut perjanjian, diangkat dari rumahnya dua hari sekali. Namun, sering kali hingga empat hari sampah itu tidak diangkut. Yang dilakukannya bila hal itu terjadi adalah ia akan membawa sendiri tumpukan sampahnya dari bak sampah di depan rumahnya ke depo sampah terdekat.
Menurut Perda DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2006 tentang Retribusi Daerah, dalam Pasal 105 Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2006 tentang Retribusi Daerah, tidak ada penarikan iuran sampah di tingkat perumahan atau tempat tinggal. Pungutan biaya sampah baru dikenakan kepada pemilik usaha kecil, menengah, dan usaha besar, termasuk kios-kios di pasar hingga hotel, mal, dan tempat hiburan. Besar pungutan hanya Rp 10.000-Rp 20.000 per meter kubik sampah.

Ketika mengetahui hal itu, baik Ibu Hasanudin, Ibu Ani, maupun Dita mengaku kaget. Meski begitu, mereka tidak berkeberatan membayar iuran sampah. “Saya bersedia bayar, asal sampahnya rutin terangkut, tidak menumpuk dan malah jadi sumber penyakit,” tutur Ibu Hasanudin.

0 komentar:

Posting Komentar