Praktikum Lapangan Metode Non-Seismik, Pacitan 2013

Workshop Metode Gravitasi, Geomagnetik, AMT, VLF, Geolistrik dan Induced Polarization.

Kuliah Lapangan Geologi Bayat, Maret 2012

Pemetaan Geologi daerah Bayat dan sekitarnya, Geofisika-Geologi UGM.

Workshop Fisika Gunungapi, Kamojang 2014

Akuisisi Data Gravitasi dengan Gravimeter LaCoste-Romberg.

HMGF UGM 2013

Pengurus Himpunan Mahasiswa Geofisika, Universitas Gadjah Mada Periode 2013.

Pos Angkatan 2010, The Royal Blue

Orientasi Pengenalan Medan Geofisika 2013, Kowe Kudu Semangat.

Senin, 09 Januari 2012

Hukum Kepler dan Hukum Newton


Hukum Kepler ini telah dicetuskan Kepler setengah abad sebelum Newton mengajukan ketiga Hukum-nya tentang gerak dan hukum gravitasi universal. Di antara hasil karya Kepler, terdapat tiga penemuan yang sekarang kita kenal sebagai Hukum Kepler mengenai gerak planet.
Hukum Kepler dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
1.      Hukum Kepler 1 mengenai bentuk lintasan Planet;
2.      Hukum Kepler 2 mengenai luas daerah sapuan Planet dibandingkan dengan selang waktu;
3.      Hukum Kepler 3 mengenai perbandingan antara perioda dengan jarii-jari lintasan.



Hukum Kepler 1
Hukum Kepler yang pertama berbunyi :
“Setiap planet bergerak dalam lintasan elips dan matahari berada disalah satufokusnya”
Pada waktu itu pernyataan ini dianggap radikal, karena kepercayaan yang berlaku pada saat itu memandang bahwa orbit harus didasari dengan lingkaran sempurna. Pengamatan ini sangat penting pada saat itu karena mendukung pandangan alam semesta menurut Kopernikus. Ini tidak berarti ia kehilangan relevansi dalam konteks yang lebih modern.
Pada saat itu Kepler sendiri tidak mengetahui alasan mengapa planet bergerak dengan cara demikian. Ketika mulai tertarik dengan gerak planet-planet, Newton menemukan bahwa ternyata hukum-hukum Kepler ini bisa diturunkan secara matematis dari hukum gravitasi universal dan hukum gerak Newton. Newton juga menunjukkan bahwa di antara kemungkinan yang masuk akal mengenai hukum gravitasi, hanya satu yang berbanding terbalik dengan kuadrat jarak yang konsisten dengan Hukum Kepler.

Dimensi paling panjang pada orbit elips diatas disebut sumbu mayor alias sumbu utama, dengan setengah panjang a. Setengah panjang ini disebut sumbu semiutama alias semimayor. F1 dan F2 adalah titik Fokus. Matahari berada pada F1 dan planet berada pada P. Tidak ada benda langit lainnya pada F2. Total jarak dari F1 ke P dan F2 ke P sama untuk semua titik dalam kurva elips. Jarak pusat elips (O) dan titik fokus (F1 dan F2) adalah ea, di mana e merupakan angka tak berdimensi yang besarnya berkisar antara 0 sampai 1, disebut juga eksentrisitas. Jika e = 0 maka elips berubah menjadi lingkaran. Kenyataanya, orbit planet berbentuk elips alias mendekati lingkaran. Dengan demikian besar eksentrisitas tidak pernah bernilai nol. Nilai e untuk orbit planet bumi adalah 0,017. Perihelion merupakan titik yang terdekat dengan matahari, sedangkan titik terjauh adalah aphelion.

Hukum Kepler 2
Hukum Kepler kedua ini berbunyi : Luas daerah yang disapu oleh garis antara matahari dengan planet adalah sama untuk setiap periode waktu yang sama”.
Pada selang waktu yang sangat kecil, garis yang menghubungkan antara matahari dengan planet melewati sudut (misal : dθ ). Garis tersebut melewati daerah sapuan yang berjarak r, dan luas daerah sapuan dA=1/2 r2 dθ . Sementara laju planet ketika melewati daerah itu adalah dA/dt. disebut kecepatan sektor.
dA/dt =  1/2r2 dθ /dt

Hal yang paling utama dalam Hukum II Kepler adalah kecepatan sektor mempunyai harga yang sama pada semua titik sepanjang orbit yang berbentuk elips. Ketika planet berada di perihelion, nilai r kecil, sedangkan dθ/dt besar. Ketika planet berada di aphelion, nilai r besar, sedangkan dθ/dt kecil. 



Hukum Kepler 3
Planet yang terletak jauh dari matahari memiliki perioda orbit yang lebih panjang dari planet yang dekat letaknya. Hukum Kepler ketiga menjabarkan hal tersebut secara kuantitatif.
Kuadrat waktu yang diperlukan oleh planet untuk menyelesaikan satu kali orbit sebanding dengan pangkat tiga jarak ratarata planetplanet tersebut dari matahari”.
Jika T1 dan T2 mewakili periode dua buah planet berbeda, dan r1 dan r2 mewakili jari-jari semimayor antara dua planet tersebut, maka dapat ditulis sebagai persamaan :

                    Dengan kata lain persamaan diatas dapat ditulis kembali sebagai persamaan
baru sebagai berikut :

ini berarti untuk setiap planet harus memiliki nilai r^3/T^2  yang sama.
                             Berikut adalah data mengenai jari-jari semimayor dan waktu periode planet- 
                     planet yang  menjadi dasar pemikiran Kepler terhadap hukum Kepler 3. 




                     Pendekatan Hukum Kepler 3 dengan Hukum Newton 

Menurut pendapat Isaac Newton, Hukum Kepler 3 dapat diturunkan secara matematis dan da[at dihubungkan dengan Hukum Newton mengenai Gaya Gravitasi Universal dan pergerakan sentripetal. Dari rumus awal hukum Kepler 3


apabila ditinjau dengan hukum Newton kedua dan hukum gerak melingkar, maka dapat dituliskan dalam persamaan berikut :
   δF = ma ….. Persamaan hukum Newton II
    Frad = m arad   …...Persamaan Gerak melingkar
dengan arad adalah percepatan sentripetal = v^2/r

apabila ditinjau dengan hukum Newton kedua dan hukum gerak melingkar, maka dapat dituliskan dalam persamaan berikut :

sehingga jika diturunkan dengan pendekatan Hukum Newton II akan menjadi persamaan sebagai berikut : 




      m1 adalah massa planet pertama (akan dibandingkan dengan planet kedua) , m­M adalah massa matahari. r 1 adalah jari-jari rata-rata planet terhadap matahari, sedangkan v1 adalah kelajuan orbit rata-rata planet pertama.  Waktu yang diperlukan sebuah planet untuk menyelesaikan satu orbit adalah T1, di mana jarak tempuhnya sama dengan keliling lingkaran ( 2πr1 ) . Dengan demikian, besar v1 adalah :


Apabila metode yang sama dilakukan untuk planet kedua dengan jari-jari dan massa yang berbeda maka akan didapat persamaan umum yang sama. Dengan r2 , m2, T2 berturut-turut adalah jari-jari rata-rata planet dengan matahari, massa planet dan periode orbit planet.


Perhatikan ruas kanan pada persamaan 1 dan persamaan 2, nilai antara ruas kanan persamaan 1 dan 2 adalah sama. oleh karena itu, maka apabila persamaan 1 dan 2 digabungkan maka akan menjadi persamaan hukum Kepler 3.




Hukum Kepler 3 relevan dengan konsep gerak melingkar dan gaya gravitasi universal hasil temuan Isaac Newton dan dapat dibuktikan secara matematis.


Pustaka :
Daton, Goris. S., . (2007) . Fisika SMU XI . Jakarta : Grasindo
Giancoli, Douglas. C., . (2001) . FISIKA Jilid 1 (terjemahan) . Jakarta : Erlangga
Halliday & Resnick . (1991) . Fundamental Of Physics (Ed.1) (terjemahan) .  
 Jakarta : Erlangga
Tipler, P.A., . (1998) . Fisika untuk Sains dan Teknik–Jilid I (terjemahan) .
Jakarta : Erlangga
Young, Hugh D. & Freedman, Roger A., . (2002) . Fisika Universitas
 (terjemahan), Jakarta :  Erlangga









Jumat, 06 Januari 2012

Mineral pada Sistem Magmatik

Pendahuluan


Magma adalah suatu lelehan silikat bersuhu tinggi berada didalam Litosfir, yang terdiri dari ion-ion yang bergerak bebas, hablur yang mengapung didalamnya, serta mengandung sejumlah bahan berwujud gas. Lelehan tersebut diperkirakan terbentuk pada kedalaman berkisar sekitar 200 kilometer dibawah permukaan Bumi, terutama terdiri dari unsur-unsur yang kemudian membentuk mineral-mineral

Magmatik sistem adalah suatu sistem dimana magma yang mempunyai berat-jenis lebih ringan dari batuan sekelilingnya, akan berusaha untuk naik melalui rekahan-rekahan yang ada dalam litosfir hingga akhirnya mampu mencapai permukaan Bumi.

Dalam perjalanannya naik menuju ke permukaan, magma dapat mulai kehilangan mobilitasnya ketika masih berada didalam litosfir dan membentuk dapur-dapur magma sebelum mencapai permukaan. Dalam keadaan seperti itu, magma akan membeku ditempat, dimana ion-ion didalamnya akan mulai kehilangan gerak bebasnya kemudian menyusun diri, menghablur dan membentuk mineral dan batuan beku.

Komposisi Magma dalam Sistem Magmatik

Komposisi magma yang terbentuk dari sistem magmatik mencerminkan komposisi magma dimana mereka mengkrisatal. Komposisi magma dipengaruhi oleh :
1. Kompisisi kimia dari batuan sumber
2. Modifikasi komposisi magma setelah pembentukan dan ekstraksi dari batuan sumber.

Peleburan Batuan Asal dan Pemisahan Magma dari Sumbernya

Peleburan batuan sumber terjadi sebagai respon terhadap :
1. Pemanasan
2. Infiltrasi H2O yang memiliki temperatur di bawah suhu yang dibutuhkan untuk dry melting.
3. Pengurangan tekanan pada massa batuan pada suhu tepat di bawah titik lebur

Magma adalah material yang bergerak, jadi ekstraksi magma dari batuan sumber yang tidak meleleh sempurna tidak dapat diduga. Ekstraksi dari sebagian lelehan merupakan respon dari ketidakstabilan gravitasi pada fase cair yang memiliki densitas rendah, yang kemudian menghasilkan intrusi, ataupun kompresi lempeng tektonik dimana cairannya dapat dipisahkan dari residu padatannya.
Kumpulan mineral di batuan magmatik kemungkinan mencerminkan komposisi utama dari magma yang terekstraksi, tapi bukan sumber magmanya.

Modifikasi Komposisi Magma

Modifikasi komposisi magma kemungkinan terjadi akibat :

Difusi Internal mungkin terjadi di dapur magma, setelah atau selama kristalisasi pada lingkungan yang tak terpengaruhi oleh konveksi panas.
Sebagai contoh, bertambahnya feldspar alkali pada Deboullie pluton di Maine yang dideskripsikan oleh Boone (1962), diakibatkan karena difusi bagian atas oleh ion alkali (Na+, K+) atau ion alkali-silikat yang berkoordinasi dengan ion-ion cair dalam merespon perubahan gradien suhu dari interior magma bersuhu tinggi menuju interior magma bersuhu rendah.

Kristalisasi Sebagian, merupakan ciri utama dari sebagian besar magma. Proses kristalisasi dipengaruhi oleh banya faktor, seperti suhu yang berada di bawah suhu standar kristalisasi. Maka magma akan mejadi terbedakan melalui proses tenggelam, mengapung, perbedaan aliran kristal, pelelehan, atau juga menjadi pelapisan dari permukaan dapur magma. Magma yang terbedakan ini akan memiliki komposisi yang berbeda dari magma induk (sebelum terbedakan)

Penggabungan magma akan menyebabkan magma dengan komposisi yang berbeda. Penggabungan ini biasanya melibatkan dua campuran magma, dimana salah satu magma telah mengandung kristal. Sehingga proses ini bisa juga disebut sebagai “penggabungan kristal dan magma”. Biasanya penggabungan magma akan terlihat jika penggabungan ini berasal dari magma yang berbeda sumbernya.

Asimilasi dari material-material luar juga akan mengakibatkan modifikasi komposisi magma. Walau pun proses ini tak sama seperti proses termal dan kinetik yang menyebabkan besar perubahan pada magma yang termodifikasi, namun untuk skala lokal proses ini bisa sangat berpengaruh secara signifikan.

Penyebab Pembekuan Magma

Magma Kehilangan Panas
Perpindahan panas dari magma ke batuan yang relatif dingin merupakan kasus klasik pada intrusi dangkal (lebih dingin) pada mantel bumi. Pendinginan mengakibatkan magma kehilangan energi kinetik komponen lelehnya hingga titik nukleasi dan kristalisasi atau hingga pembekuan yang cepat membentuk gelas (lingkungan volkanik).

Magma Kehilangan Fase Cair
Pemisahan fase cair pada magma yang mengandung H20, menyebabkan kristalisasi dengan atau tanpa penurunan suhu (kehilangan kalor). Pelepasan H20 memungkinkan polimer silikat untuk terbentuk, menjadi langkah awal untuk pembentukan struktur kristal silikat.

Fractional crystallization terjadi apabila ada urutan kristalisasi unsur mineral sebagai variabel, seperti suhu, jatuh daripada kristalisasi total pada suhu normal. Jika fase mineral pembentukannya dini dan bersuhu lebih tinggi terpisah dari magma induk melalui penenggelaman, pengapungan, aliran yang berbeda dari kristal dan lelehan, atau melalui peletakan pada permukaan ruang magma, komposisi magma yang tersisa ini berbeda dengan megma induk, dan disebut differentiated magma.

Kristalisasi sebagian memiliki dua cabang mineralogi penting :

1. Pemisahan mekanis mineral dari magma induk yang mengarah pada formasi dari batuan yang tak mempunyai komposisi magma induk.
Contoh: pemisahan olivin dari magma basaltik mengkristal menghasilkan batu dunite monomineralogi.


2. Jika sejumlah kecil magma mengkristal mengalami perubahan lingkungan mendadak, seperti intrusi kedua, atau peristiwa erupsi di permukaan Bumi, magma tersebut akan mengkristal dengan cepat atau mengeras menjadi gelas.

Sistem magmatik yang paling luas dipelajari ialah sistem granit dan sistem basal. Sistem granit juga berlaku untuk magma yang menghasilkan riolit. Sementara sistem basal berlaku untuk magma yang menghasilkan gabbro.
Sistem magmatik rendah kandungan silika dicirikan oleh kehadiran albit dan K-feldspar yang rendah silika.
Reaksi-reaksi berilut menunjukkan mengapa pembentukan leusit atau nepheline di hadapan silika berlebih dihindari jika kesetimbangan dicapai dalam sistem seperti :
NaA1Si206 (nepheline) + SiOl --> NaA1Si30, (albite)
KAlSi,06 (leucite) + Si0, --> KAlSi308 (K-feldspar)

Morfologi dari mineral magmatik

Bentuknya mencerminkan kebebasan berkembang dalam bentuk liquid, perkembangan khusus akibat dari gangguan kristal lain, dan lingkungan dinamik. Magmatik sistem memiliki 2(atau 3) tahapan kristalisasi atau pemadatan, tahapan pertama biasanya menghasilkan kristal-kristal ukuran besar.
Selama tahap kedua, biasanya biji matrik yang sangat halus / gelasan terbentuk.

Aplikasi Perhitungan dan Pendugaan Ketebalan dan Kedalaman perlapisan dalam Metode Geofisika Eksplorasi

Bidang eksplorasi gas, hidrokarbon maupun bahan tambang dan mineral banyak menggunakan metode-metode geofisika eksplorasi, namun disamping itu untuk interpretasinya tidak lepas dari informasi geologi yang sesuai dan tepat dengan lokasi penelitian ataupun lokasi survey. Memanfaatkan pendugaan dari survey dengan metode geofisika dan informasi geologis wilayah terkait, para pengeksplor gas, hidrokaron maupun bahan tambang dan mineral dapat melakukan eksplorasi dengan efektif dan efisien.
Salah satu ilmu geologi dasar dan geologi struktur dalam eksplorasi diantaranya adalah dalam penggunaan metode seismik bias (seismik refraksi) untuk eksplorasi hidrokarbon, setelah proses akuisisi data seismik dilakukan selanjutnya adalah interpretasi data dan mencocokkan dengan informasi geologis yang ada, dari data yang didapat para pengeksplor dapat menduga seberapa besar cadangan hidrokarbon yang ada dengan cara melihat seberapa tebal batuan reservoir dan seberapa jauh batuan reservoir tersebar. Ketebalan batuan reservoir yang memiliki porositas dan permeabilitas tinggi ini yang akan menjadi acuan untuk menentukan seberapa banyak cadangan dengan menganalisa setiap meter kubik batuan tersebut dengan hasil hidrokarbon yang dapat diproduksi. Sementara itu pendugaan kedalaman biasanya diprioritaskan untuk memperkirakan biaya pengeboran.
Selain itu dalam eksplorasi batubara (coal) dengan menggunakan metode resistivitas (geolistrik). Para pengeksplor seringkali menggunakan data hasil inversi untuk menentukan ketebalan perlapisan batubara dan kedalaman batubara sesuai dengan nilai resistivitas yang didapat dari survey resistivitas yang telah dilakukan sebelumnya.



Daftar pustaka :
Rachmat, Sudjati,. 2007. Reservoir Minyak dan Gas Bumi . Buku Pintar MIGAS Indonesia : halaman 1-3.
Broto, S., Afifah, R.S., 2008. Pengolahan Data Geolistrik dengan Metode Schlumberger. Survei Geofisika Eksplorasi Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Diponegoro : halaman 122-125.
Suparno, Supriyanto,. 2009. Energi Panasbumi “A Present from the heart of the Earth” . Departemen Fisika, Lab. Geofisika FMIPA Universitas Indonesia : halaman 15 -20.

Kamis, 05 Januari 2012

Fisiografis Pulau Jawa

Pulau Jawa merupakan pulau yang memanjang dari barat ke timur. Wilayah Jawa sendiri dibagi menjadi 3 zona yaitu :
1.Bagian utara yang ditandai oleh rangkaian Baturagung Masif – Panggung Masif, dicirikan oleh relief yang kuat dan tersusun oleh batuan volkaniklastik.
2.Bagian tengah merupakan cekungan Wonosari yang tersusun oleh perselingan batugamping berlapis dan napal.
3.Dan bagian selatan yang sering disebut sebagai Kompleks Gunung Sewu, memiliki karakteristik bentang alam karst. Tersusun oleh batugamping berlapis dan batugamping terumbu.

Menurut Van Bemmelen (1949;1970) dalam Winardi (2009), fisiografi Pulau Jawa dan Madura dibagi menjadi 7 sebagai berikut :



Zona Pegunungan Selatan, yang merupakan pegunungan struktural yang memanjang barat-timur searah bentuk geometri pulau Jawa. Pegunungan Selatan ini dibagi menjadi Pengunungan Selatan Jawa Barat, Jawa tengah dan Jawa Timur. Wilayah sebarannya dari Pacitan sampai Parangtritis, membujur barat – timur. Di Yogyakarta bagian selatan, batas utara Gunung Sewu adalah Plato Wonosari, batas selatan adalah Pantai Samudera Hindia dan batas barat adalah dataran Bantul – Kulonprogo.

Secara morfologis, daerah Pegunungan Selatan merupakan pegunungan yang dibedakan menjadi 3 satuan murfologi utama, yaitu :
a. Satuan morfologi perbukitan berrelief sedang sampai curam.
Yaitu mulai dari daerah sekitar Imogiri di bagian barat hingga kawasan Pacitan – Slahung. Litologi yang terdapat disatuan morfologi ini adalah batupasir dan breksi volkanik serta batuan beku dari formasi Semilir, Nglanggran, atau Wuni dan Besole.
b. Satuan dataran tinggi.
Yaitu terdapat di daerah gading Wonosari, Playen hingga Semanu. Daerah ini memiliki topografi yang hampir datar dan pada umumnya ditempati oleh batugamping.
c. Satuan perbukitan kerucut.
Meliputi daerah di sebelah timur Parangtritis memanjang ke timur melewati daerah Baron. Daerah ini tersusun oleh batugamping, baik batugamping terumbu maupun batugamping lain.

Sumber terkait :
Geology of Indonesia, R.W. van Bemmelen (1949)

Geologi Regional Zona Kendeng

1. Geomorfologi Regional

Berdasarkan morfologi tektonik (litologi dan pola struktur), maka wilayah Jawa bagian timur (meliputi Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur) dapat dibagi mejadi beberapa zona fisografis (van Bemmelen, 1949) yakni : Zona Pegunungan Selatan, Zona Solo atau Depresi Solo, Zona Kendeng, Depresi Randublatung, dan Zona Rembang.
Zona Kendeng meliputi deretan pegunungan dengan arah memanjang barat-timur yang terletak langsung di sebelah utara sub zona Ngawi. Pegunungan ini tersusun oleh batuan sedimen laut dalam yang telah mengalami deformasi secara intensif membentuk suatu antiklinorium. Pegunungan ini mempunyai panjang 250 km dan lebar maksimum 40 km (de Genevraye & Samuel, 1972) membentang dari gunungapi Ungaran di bagian barat ke timur melalui Ngawi hingga daerah Mojokerto. Di bawah permukaan, kelanjutan zona ini masih dapat diikuti hingga di bawah selatan Madura.
Ciri morfologi Zona Kendeng berupa jajaran perbukitan rendah dengan morfologi bergelombang, dengan ketinggian berkisar antara 50 hingga 200 meter. Jajaran yang berarah barat-timur ini mencerminkan adanya perlipatan dan sesar naik yang berarah barat-timur pula. Intensitas perlipatan dan anjakan yang mengikutinya mempunyai intensitas yang sangat besar di bagian barat dan berangsur melemah di bagian timur. Akibat adanya anjakan tersebut, batas dari satuan batuan yang bersebelahan sering merupakan batas sesar. Lipatan dan anjakan yang disebabkan oleh gaya kompresi juga berakibat terbentuknya rekahan, sesar dan zona lemah yang lain pada arah tenggara-barat laut, barat daya-timur laut dan utara-selatan.
Proses eksogenik yang berupa pelapukan dan erosi pada daerah ini berjalan sangat intensif, selain karena iklim tropis juga karena sebagian besar litologi penyusun Mandala Kendeng adalah batulempung-napal-batupasir yang mempunyai kompaksitas rendah, misalnya pada formasi Pelang, Formasi Kerek dan Napal Kalibeng yang total ketebalan ketiganya mencapai lebih dari 2000 meter.
Karena proses tektonik yang terus berjalan mulai dari zaman Tersier hingga sekarang, banyak dijumpai adanya teras-teras sungai yang menunjukkan adanya perubahan base of sedimentation berupa pengangkatan pada Mandala Kendeng tersebut. Sungai utama yang mengalir di atas Mandala Kendeng tersebut adalah Bengawan Solo yang mengalir mulai dari utara Sragen ke timur hingga Ngawi, ke utara menuju Cepu dan membelok ke arah timur hingga bermuara di Ujung Pangkah, utara Gresik. Sungai lain adalah Sungai Lusi yang mengalir ke arah barat, dimulai dari Blora, Purwodadi dan terus ke barat hingga bermuara di pantai barat Demak-Jepara.

2. Stratigrafi Regional

Stratigrafi penyusun Zona Kendeng merupakan endapan laut dalam di bagian bawah yang semakin ke atas berubah menjadi endapan laut dangkal dan akhirnya menjadi endapan non laut. Endapan di Zona Kendeng merupakan endapan turbidit klastik, karbonat dan vulkaniklastik. Stratigrafi Zona Kendeng terdiri atas 7 formasi batuan, urut dari tua ke muda sebagai berikut (Harsono, 1983 dalam Rahardjo 2004) :
1. Formasi Pelang
Formasi ini dianggap sebagai formasi tertua yang tersingkap di Mandala Kendeng. Formasi ini tersingkap di Desa Pelang, Selatan Juwangi. Tidak jelas keberadaan bagian atas maupun bawah dari formasi ini karena singkapannya pada daerah upthrust ,berbatasan langsung dengan formasi Kerek yang lebih muda. Dari bagian yang tersingkap tebal terukurnya berkisar antara 85 meter hingga 125 meter (de Genevraye & Samuel, 1972 dalam Rahardjo, 2004). Litologi utama penyusunnya adalah napal, napal lempungan dengan lensa kalkarenit bioklastik yang banyak mengandung fosil foraminifera besar.
2. Formasi Kerek
Formasi Kerek memiliki kekhasan dalam litologinya berupa perulangan perselang-selingan antara lempung, napal, batupasir tuf gampingan dan batupasir tufaan. Perulangan ini menunjukkan struktur sedimen yang khas yaitu perlapisan bersusun (graded bedding). Lokasinya berada di Desa Kerek, tepi sungai Bengawan Solo, ± 8 km ke utara Ngawi. Di daerah sekitar lokasi tipe formasi ini terbagi menjadi tiga anggota (de Genevraye & Samuel, 1972 dalam Rahardjo, 2004), dari tua ke muda masing-masing :
a. Anggota Banyuurip
Anggota Banyuurip tersusun oleh perselingan antara napal lempungan, lempung dengan batupasir tuf gampingan dan batupasir tufaan dengan total ketebalan 270 meter. Di bagian tengahnya dijumpai sisipan batupasir gampingan dan tufaan setebal 5 meter, sedangkan bagian atasnya ditandai dengan adanya perlapisan kalkarenit pasiran setebal 5 meter dengan sisipan tuf halus. Anggota ini berumur N10 – N15 (Miosen tengah bagian tengah atas).
b. Anggota Sentul
Anggota Sentul tersusun atas perulangan yang hampir sama dengan anggota Banyuurip, tetapi lapisan yang bertuf menjadi lebih tebal. Ketebalan anggota Sentul mencapai 500 meter. Anggota Sentul berumur N16 (Miosen atas bagian bawah).
c. Anggota Batugamping Kerek
Merupakan anggota teratas dari formasi Kerek, tersusun oleh perselingan antara batugamping tufaan dengan perlapisan lempung dan tuf. Ketebalan anggota ini mencapai 150 meter. Umur batugamping kerek ini adalah N17 (Miosen atas bagian tengah).
3. Formasi Kalibeng
Formasi ini terbagi menjadi dua bagian yaitu bagian bawah dan bagian atas. Bagian bawah formasi Kalibeng tersusun oleh napal tak berlapis setebal 600 meter, berwarna putih kekuning-kuningan sampai abu-abu kebiru-biruan, kaya akan kanndungan foraminifera plangtonik.
a. Formasi Kalibeng bagian bawah
Formasi Kalibeng bagian bawah ini terdapat beberapa perlapisan tipis batupasir yang ke arah Kendeng bagian barat berkembang menjadi suatu endapan aliran rombakan, yang disebut sebagai Formasi Banyak (Harsono, 1983 dalam Rahardjo, 2004) atau anggota Banyak dari formasi Kalibeng (Nahrowi dan Suratman, 1990 dalam Rahardjo, 2004), ke arah Jawa Timur, yaitu di sekitar Gunung Pandan, Gunung Antasangin dan Gunung Soko, bagian atas formasi ini berkembang sebagai endapan vulkanik laut yang menunjukkan struktur turbidit. Fasies tersebut disebut sebagai anggota Antasangin (Harsono, 1983 dalam Rahardjo, 2004).
b. Formasi Kaliben bagian atas
Bagian atas dari formasi ini oleh Harsono (1983) disebut sebagai Formasi Sonde, yang tersusun mula-mula oleh anggota Klitik yaitu kalkarenit putih kekuning-kuningan, lunak, mengandung foraminifera plangtonik maupun besar, moluska, koral, algae dan bersifat napalan atau pasiran dengan berlapis baik. Bagian paling atas tersusun atas breksi dengan fragmen gamping berukuran kerikil dan semen karbonat. Kemudian disusul endapan napal pasiran, semakin keatas napalnya bersifat semakin bersifat lempungan. Bagian teratas ditempati oleh lempung berwarna hijau kebiru-biruan. Formasi Sonde ini ditemukan sepanjang sayap lipatan bagian selatan antiklinorium Kendeng dengan ketebalan berkisar 27 – 589 meter dan berumur Pliosen (N19 – N21).
4. Formasi Pucangan
Formasi Pucangan ini mempunyai penyebaran yang cukup luas. Di Kendeng bagian barat satuan ini tersingkap luas antara Trinil dan Ngawi. Di Mandala Kendeng yaitu daerah Sangiran, Formasi Pucangan berkembang sebagai fasies vulkanik dan fasies lempung hitam. Fasies vulkaniknya berkembang sebagai endapan lahar yang menumpang diatas formasi Kalibeng. Fasies lempung hitamnya berkembang dari fasies laut, air payau hingga air tawar. Di bagian bawah dari lempung hitam ini sering dijumpai adanya fosil diatomae dengan sisipan lapisan tipis yang mengandung foraminifera bentonik penciri laut dangkal. Semakin ke atas akan menunjukkan kondisi pengendapan air tawar yang dicirikan dengan adanya fosil moluska penciri air tawar.
5. Formasi Kabuh
Formasi ini mempunyai lokasi tipe di desa Kabuh, Kec. Kabuh, Jombang. Formasi ini tersusun oleh batupasir dengan material non vulkanik antara lain kuarsa, berstruktur silang siur dengan sisipan konglomerat, mengandung moluska air tawar dan fosil-fosil vertebrata. Formasi ini mempunyai penyebaran geografis yang luas. Di daerah Kendeng barat formasi ini tersingkap di kubah Sangiran sebagai batupasir silang siur dengan sisipan konglomerat dan tuf setebal 100 meter. Batuan ini diendapkan fluvial dimana terdapat struktur silang siur, maupun merupakan endapan danau karena terdpaat moluska air tawar seperti yang dijumpai di Trinil.
6. Formasi Notopuro
Formasi ini mempunyai lokasi tipe di desa Notopuro, Timur Laut Saradan, Madiun yang saat ini telah dijadikan waduk. Formasi ini terdiri atas batuan tuf berselingan dengan batupasir tufaan, breksi lahar dan konglomerat vulkanik. Makin keatas sisipan batupasir tufaan semakin banyak. Sisipan atau lensa-lensa breksi volkanik dengan fragmen kerakal terdiri dari andesit dan batuapung juga ditemukan yang merupakan cirri formasi Notopuro. Formasi ini terendapkan secara selaras diatas formasi Kabuh, tersebar sepanjang Pegunungan Kendeng dengan ketebalan lebih dari 240 meter. Umur dari formasi ini adalah Plistosen akhir dan merupakan endapan lahar di daratan.
7. Endapan undak Bengawan Solo
Endapan ini terdiri dari konglomerat polimik dengan fragmen napal dan andesit disamping endapan batupasir yang mengandung fosil-fosil vertebrata. di daerah Brangkal dan Sangiran, endapan undak tersingkap baik sebagai konglomerat dan batupasir andesit yang agak terkonsolidasi dan menumpang di atas bidang erosi pada Formasi Kabuh maupun Notopuro.



3. Struktur Geologi Regional


Deformasi pertama pada Zona Kendeng terjadi pada akhir Pliosen (Plio – Plistosen), deformasi merupakan manifestasi dari zona konvergen pada konsep tektonik lempeng yang diakibatkan oleh gaya kompresi berarah relatif utara – selatan dengan tipe formasi berupa ductile yang pada fase terakhirnya berubah menjadi deformasi brittle berupa pergeseran blok – blok dasar cekungan Zona Kendeng. Intensitas gaya kompresi semakin besar ke arah bagian barat Zona Kendeng yang menyebabkan banyak dijumpai lipatan dan sesar naik dimana banyak zona sesar naik juga merupakan kontak antara formasi atau anggota formasi.
Deformasi Plio – Plistosen dapat dibagi menjadi tiga fase/ stadia, yaitu; fase pertama berupa perlipatan yang mengakibatkan terbentuknya Geantiklin Kendeng yang memiliki arah umum barat – timur dan menunjam di bagian Kendeng Timur, fase kedua berupa pensesaran yang dapat dibagi menjadi dua, yaitu pensesaran akibat perlipatan dan pensesaran akibat telah berubahnya deformasi ductile menjadi deformasi brittle karena batuan telah melampaui batas kedalaman plastisnya. Kedua sesar tersebut secara umum merupakan sesar naik bahkan ada yang merupakan sesar sungkup. Fase ketiga berupa pergeseran blok – blok dasar cekungan Zona Kendeng yang mengakibatkan terjadinya sesar – sesar geser berarah relatif utara – selatan.
Deformasi kedua terjadi selama kuarter yang berlangsung secara lambat dan mengakibatkan terbentuknya struktur kubah di Sangiran. Deformasi ini masih berlangsung hingga saat ini dengan intensitas yang relatif kecil dengan bukti berupa terbentuknya sedimen termuda di Zona Kendeng yaitu Endapan Undak.
Secara umum struktur – struktur yang ada di Zona Kendeng berupa :
1. Lipatan Lipatan yang ada pada daerah Kendeng sebagian besar berupa lipatan asimetri bahkan beberapa ada yang berupa lipatan overturned. Lipatan – lipatan di daerah ini ada yang memiliki pola en echelon fold dan ada yang berupa lipatan – lipatan menunjam. Secara umum lipatan di daerah Kendeng berarah barat – timur.

2. Sesar Naik Sesar naik ini biasa terjadi pada lipatan yang banyak dijumpai di Zona Kendeng, dan biasanya merupakan kontak antar formasi atau anggota formasi.

3. Sesar Geser Sesar geser pada Zona Kendeng biasanya berarah timur laut- barat daya dan tenggara -barat laut.

4. Struktur Kubah Struktur Kubah yang ada di Zona Kendeng biasanya terdapat di daerah Sangiran pada satuan batuan berumur Kuarter. Bukti tersebut menunjukkan bahwa struktur kubah pada daerah ini dihasilkan oleh deformasi yang kedua, yaitu pada Kala Plistosen.


sumber terkait :

De Genevraye ,P. , Samuel , Luki . 1972. Geology of the Kendeng Zone (Central and East Java) . Indonesian Petroleum Association
Harsono, Pringgroprawiro. 1983. Stratigrafi daerah Mandala Rembang dan sekitarnya . Jakarta
Rahardjo, Wartono. 2004. Buku Panduan Ekskursi Geologi Regional Pegunungan Selatan dan Zona Kendeng. Jurusan Teknik Geologi. Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
(dengan beberapa perubahan)