Kamis, 10 Desember 2015

Metode Gravitasi (Gravity Method) - Perbedaan Fungsi dalam Geofisika dan Geodesi

Well, maafkan jika terlalu lama vakum menulis blog lagi. Saya mau sedikit cerita (curcol) tentang pengalaman saya dalam beberapa waktu terakhir. Mungkin sudah banyak yang tau jika background pendidikan saya adalah Geofisika, yap. saya adalah seorang geofisisis (yang sebetulnya tidak terlalu mahir dalam urusan K-A-L-K-U-L-U-S (if you know what i mean).
Saya lebih suka disebut Geosaintis/Earth Saintis, karena sudah jelas dalam mempelajari ilmu kebumian kita tidak bisa berpaku pada satu disiplin saja, Geofisika saja, Geologi saja atau Geodesi saja. Mereka bertiga saling bekerja bersama dan berkaitan satu sama lain.

Nah, selama saya menempuh pendidikan S1 saya seringkali 'bergaul' hanya dengan Geologis (kebanyakan) karena selama ini saya banyak fokus dalam bidang eksplorasi, padahal sudah jelas jika lingkup studi Geofisika itu sangat luas, mulai dari studi gunungapi hingga studi referensi dalam bidang geodetik.

Gambar 1 : Model Geoid Lokal DIY (Triarahmadhana dkk, 2014)

Dalam tulisan kali ini saya akan sedikit bercerita perbedaan fungsi dari metode Gravitasi/Gayaberat yang berkaitan dengan kegunaannya untuk dua bidang yang berbeda, yaitu Geofisika dan Geodesi. 

Kita ketahui bersama, jika metode gravitasi atau Gayaberat adalah salah satu metode geofisika yang banyak digunakan dalam bidang eksplorasi maupun bidang kegeofisikaan lainnya. Selama ini yang saya pelajari adalah penggunaan metode tersebut untuk kegiatan eksplorasi panasbumi, mineral, migas hingga monitorin status kegunungapian dan panasbumi. Dalam beberapa kesempatan, metode Gravitasi juga seringkali digunakan dalam studi tektonisme dan geologi struktur. Namun, beberapa waktu terakhir ini saya baru mengetahui jika penggunaan metode Gravitasi tidak hanya terbatas dalam bidang-bidang diatas, namun juga digunakan dalam penentuan ketinggian geoid. 

Dalam ilmu kebumian kita mengenal sistem referensi bumi seperti MSL, Geoid dan Elipsoid. Secara sederhana sistem referensi tersebut sangat berbeda. misalnya : 
MSL (Mean sea level) adalah sistem referensi yang banyak dipakai dalam penentuan ketinggian gunungapi. contohnya : Ketinggian Gunung Merapi adalah 2968 MDPL -meter diatas permukaan laut- ,dalam hal ini sudah pasti adalah ketinggian diatas muka air laut rata-rata. Padahal sudah kita ketahui bahwa muka air laut adalah suatu sistem yang sangat dinamis, walaupun perubahannya bekerja secara harmonik. Sistem ini dapat dimodelkan diseluruh permukaan bumi dengan bersumber dari data pengamatan/pengukuran nilai pasut (pasang surut/tidal -sama saja) yang diolah dengan beberapa metode dan kemudian dimodelkan secara matematis.

Sistem referensi lain yang kita ketahui adalah Elipsoid (Elipsoid -sama saja). Elipsoid adalah suatu bidang referensi, nilai nol meter yang berada pada sistem 'ke-elips-an' bumi, dalam arti bumi dalam bentuk elips sempurna atau "Normal Earth" (hal ini disebutkan dalam paper Li dan Gotze, 2001)
Sistem referensi elipsoid dapat dihitung dan dimodelkan secara matematis diseluruh permukaan bumi dengan menggunakan studi empirik. Misalnya menggunakan pendekatan GRS80 atau WGS84 yang seringkali digunakan dalam sistem GPS Handheld (yang mana rumusnya sangat panjang)

Gambar 2 : Ilustrasti beberapa sistem referensi bumi (Li dan Gotze, 2001)

Sistem referensi satu lagi adalah Geoid. Geoid dalam beberapa tulisan dideskripsikan sebagai suatu bidang ekipotensial yang diasumsikan berimpit dengan muka laut rerata yang tidak terganggu dan merepresentasikan bentuk bumi yang sesungguhnya (Heiskanen dan Moritz, 1967). Maksudnya adalah 'garis' geoid ini adalah kontinyu dan merupakan bidang yang statis namun juga tidak selalu berkaitan dengan keadaaan di permukaan bumi. Misalnya : Geoid di pegunungan tidak selalu lebih tinggi dibandingkan geoid di dataran rendah, begitupun sebaliknya. Oleh karena itu saat ini banyak yang melakukan studi tentang geoid sebagai sistem referensi yang 'valid' karena dianggap lebih mewakili bentuk bumi yang sesungguhnya (terlepas dari apa yang terlihat di permukaan). 

Perbedaan ketinggian antara Geoid dan Elipsoid ini dikenal sebagai Undulasi. Sehingga, untuk mengetahui ketinggian Geoid kita perlu mengetahui besarnya undulasi tersebut. Nah, salah satu caranya adalah dengan menggunakan metode Gravimetri (Pada tulisan ini saya tidak akan membahas Metode Gravimetri lebih jauh ya :D). disinilah metode gravitasi bekerja dalam bidang Geodesi. Lain halnya Metode Gravitasi dalam bidang Geofisika, anomali yang digunakan dari pengukuran Gravitasi nya pun berbeda, dibidang eksplorasi maupun monitoring kita gunakan anomali Bouguer, sedangkan untuk studi geoid ini, kita hanya cukup sampai mendapatkan nilai anomali Free-Air. Mengapa Demikian ???

Begini ceritanya...
Secara sederhana Anomali Bouguer adalah suatu anomali yang berada dibawah permukaan bumi dari hasil selisih antara nilai Gravitasi Terukur di Permukaan (Gravitasi observasi/ G-obs) terhadap nilai gravitasi secara teoritis. Gravitasi observasi adalah nilai gravitasi yang didapat dari pengukuran dengan menggunakan Gravimeter yang diukur diatas permukaan bumi, di topografi. Sedangkan Gravitasi teoritis adalah nilai gravitasi dari hasil perhitungan matematis geopotensial dengan menjumlahkan Nilai gravitasi normal (diukur dari elipsoid) dan kemudian gravitasi free air. Dalam hal ini Pak Bouguer mencetuskan sebuah teorema mengenai sebuah besaran densitas yang sangat mempengaruhi nilai gravitasi, yang kemudia dibuat dalam bentuk model Slab tak terhingga dengan densitas yang tetap. Pemodelan gravitasi teoritis akan lebih kompleks lagi dibahas dalam bidang geofisika, lengkap dengan segala macam koreksi koreksinya. Nah, berhubung dalam bidang Geofisika Eksplorasi ini berkaitan dengan benda anomali (yang disinyalir adalah sumber anomai gravitasi) maka diperlukan semua koreksi-koreksi (reduksi nilai) tersebut untuk mendapatkan harga anomali gravitasi yang lebih teliti. 

Persamaan reduksi free air gravity (Telford, 1990)

Persamaan gravitasi Bouguer Sederhana (Dermawan, 2010)

Lain halnya dalam bidang geodesi, Setelah pengukuran gravitasi dilakukan, maka koreksi yang perlu dilakukan (tentunya setelah melakukan koreksi terhadap gravitasi pasut dan drift alat) adalah koreksi terhadap gravitasi normal saja. Mengapa begitu ?
Karena dalam kajian ini tentunya yang kita cari bukanlah penyebab anomali, melainkan ketinggian undulasi yang mana akan berkaitan dengan nilai anomali gravitasi Free-Air yang terukur di permukaan. Nilai Gravitasi Free-Air sendiri secara sederhana adalah suatu nilai gravitasi yang secara teoritik dapat dihitung pada suatu titik diatas permukaan bumi (di topografi) tanpa memperhitungkan densitas yang ada dibawahnya, dengan kata lain, nilai gravitasinya hanya berdasarkan radius dari pusat bumi saja. 

Gimana? Sudah bingung? :D

Jika disimpulkan secara singkat, Pengunaan Metode Gravitasi dalam bidang Geofisika memiliki perbedaan dengan Geodesi jika dilihat dari segi pengolahan data dan penentuan nilai anomali yang diinginkan. Namun, dalam akuisisi data keduanya dilakukan dalam metode yang sama :D

Begitu :D
Sekian dulu ya, nanti kapan-kapan mungkin saya akan bahas tentang ini lagi :D
Terima kasih.



Tulisan yang saya baca :

Dermawan, Airlangga, 2010, REKONSEPTUALISASI DAN PEMROGRAMAN REDUKSI DATA GRAVITASI SERTA PEMETAAN KE KOORDINAT TERATUR (GRIDDING) MENGGUNAKAN BAHASA PEMROGRAMAN VISUAL BASIC, Skripsi, Geofisika UGM

Li dan Gotze, 2001, Tutorial : Ellipsoid, geoid, gravity, geodesy, and geophysics,GEOPHYSICS, VOL. 66, NO. 6 (NOVEMBER-DECEMBER 2001); P. 1660–1668, 4 FIGS., 3 TABLES.

Triarahmadhana, B., dkk, 2014, Pemodelan Geoid Lokal D.I. Yogyakarta menggunakan Metode
Fast Fourier Transformation dan Least Square Collocation,Conference on Geospatial Information Science and Engineering "Menuju Pengelolaan Informasi Secara Spasial", Yogyakarta, 20 September 2014.

Buku Magis Pak Telford :D

1 komentar: